Olehkarena itu penguatan Indonesia menuju negara maritim yang kuat diperlukan berbagai terobosan untuk mendayagunakan sumber daya kelautan secara optimal. Namun, harus disadari bahwa mengelola sumber daya kelautan memang tidak semudah membalikan telapak tangan. Permasalahan kelautan di Indonesia Kekayaansumber daya alam (SDA) sektor kelautan daerah itu bisa membangkitkan ekonomi daerah. Hanya saja, potensi laut Mubar belum dikelola maksimal. Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Mubar, La Djono mengatakan hampir semua wilayah pesisir di Mubar sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi budidaya. JAKARTA Pengelolaan sumber daya alam Indonesia di wilayah pesisir dan laut merupakan hal penting dan berarti bagi masyarakat, bangsa, dan negara.Besarnya wilayah lautan di Indonesia yang mencapai 70% dapat dimanfaatkan, salah satunya untuk pangan. Namun, pemanfaatan sumber daya kelautan Indonesia hingga saat ini oleh banyak kalangan dianggap belum optimal. Karenakekayaan maritim itu tidak hanya kelautan dan perikanan saja. Di situ banyak tugas yang harus kita jalankan. Kalau dikelola dengan sungguh-sungguh, dengan maksimal dan profesional, saya yakin laut kita akan menjadi salah satu penghasil devisa yang sangat luar biasa untuk negara. Bisa mengangkat kesejahteraan minimal rakyat di sektor REPUBLIKACO.ID, YOGYAKARTA -- Potensi laut Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, karena masih ada kesalahan pola berpikir masyarakat secara umum, kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Mohtar Mas'oed. 'Kondisi itu menyebabkan kesejahteraan ekonomi yang bersumber dari potensi Indonesia sebagai negara maritim belum dirasakan,' katanya pada seminar N5feWAX. MONITOR, Jakarta – Pemerintah dan DPR tengah menggodok dan membahas Rancangan Undang-Undang RUU tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia. Perubahan UU Landas Kontinen Indonesia didasarkan atas dasar hukum penyusunan UU Nomor 1 Tahun 1973 yang masih menggunakan ketentuan Konvensi Jenewa Tahun 1958, sedangkan rezim hukum laut internasional saat ini mengacu pada UNCLOS 1982. Terkait dengan hal tersebut, Forum Kajian Konstitusi dan Pemerhati Kebijakan Publik Fokus Policy, Agung Ariwibowo mengatakan hingga saat ini, pembasahan terkait landas kontinen sendiri lebih banyak berada diruang-ruang diskusi serta hanya pada tataran wacana umum yang menyangkut batas-batas wilayah laut nasional. “Pembentukan Pansus RUU Landas Kontinen sebagai upaya membangun gerbang kedaulatan laut nusantara. Jika itu yang menjadi tujuannya, Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP akan menjadi Leader Opinion dalam mengawal pelaksanaan aturan terkait Landas Kontinen, karena terkait dengan Tugas Pokok dan Fungsi Tupoksi sektor Kelautan Nasional,” kata Agung melalu keterangan tertulisnya, Jum’at 28/5/2021. Namun, lanjut Agung yang akan menjadi persoalan di lapangan, sejauh mana kesiapan KKP, sebagai ujung tombak Pemerintah dalam mengawal pelaksanaan UU Landas Kontinen yang baru, jika disahkan oleh DPR Advertisement - “Persoalannya ada banyak catatan yang selama ini dapat menjadi bahan evaluasi bersama terkait dengan strategi pengelolaan, pengawasan, penjagaan hingga eksplorasi kekayaan laut nasional,” ungkap Agung. Menurut Agung, mengutip Kementerian Perikanan dan Kelautan KKP RI, berdasarkan Laporan Kinerja KKP 2018, luas perairan laut Indonesia juta kilometer persegi. Terdiri dari luas laut teritorial 0,3 juta kilometer persegi, luas perairan kepulauan 2,95 juta kilometer persegi, dan luas Zona Ekonomi Eksklusif ZEE 2,55 juta kilometer persegi. “Dalam hal ekplorasi kekayaan laut, ada begitu banyak potensi laut Indonsia yang sampai saat ini masih belum tuntas dikelola dengan baik, sebagai contoh hasil perikanan tangkap. Salah satu potensi laut Indonesia yang sangat besar dan belum dikelola secara baik adalah Ikan Tuna,” terangnya. Agung menuturkan potensi Tuna Nasional dicatat hingga 1,2 juta ton pertahun 2018. Ikan Tuna yang melewati laut Indonesia berdasarkan data mencapai bobot 80kg. “Selama ini, dihitung sejak era Presiden Soeharto, bisnis kelola perikanan tuna dan ikan tangkap lebih banyak diserahkan kepada pihak swasta dan selebihnya dikelola melalui kerjasama dengan pihak asing,” katanya. Agung menambahkan jika dihitung secara matematis, 1,2 juta ton tuna atau saat ini 16% kebutuhan dunia dipasok oleh Indonesia data KKP 2018. Potensi ini jika di kelola maksimal dikalikan harga jual tuna pasaran di Asia, Eropa dikisaran harga 500juta per ton. “Maka nilai ke-ekonomian dari satu kekayaan laut kita Tuna dapat meningkatkan APBN, membiayai operasional kapal-kapal patroli Angkatan Laut menjaga wilayah laut nasional hingga meningkatkan dana pembangunan daerah yang menjadi penghasil tuna,” jelasnya. “Yang masih jadi perhatian kita, Strategi jitu Kementerian Kelautan sebagai Leading Sector pengelola wilayah laut nasional masih belum memiliki capaian-capaian memuaskan. Wilayah Laut, terdiri dari dua pertiga luas wilayah Indonesia. Tetapi pengelolaan laut nasional sejak Indonesia merdeka masih belum berjalan maksimal. Bahkan, kekayaan laut kita banyak dicuri oleh pihak asing,” ujarnya. “Kita butuh strategi baru yang jauh lebih jitu guna menyelamatkan serta memanfaatkan kekayaan laut Indonesia. Selama ini, UU No. 1 Tahun 1973, oleh sebagian pihak dirasa cukup menjadi payung hukum melindungi kawasan laut Indonesia, namun implementasi dari aturannya yang kurang berjalan baik. Jangan sampai Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya sibuk mengeluarkan izin. Harus ada semangat memperbaiki kinerja Kementerian,” tandas Agung. Bagi Agung, revisi UU Landas Kontinen, jangan hanya bicara soal kedaulatan negara di laut, tetapi juga perlu memikirkan langkah-langkah strategis terkait pengelolaan kekayaan laut Indonesia yang sangat besar. “Tanpa dikelola dengan baik, laut kita dengan dengan keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia marine mega-biodiversity menurut Food and Agricultural Organization FAO 2009, hanya akan menjadi surga bagi para penjarah. Inilah Pekerjaan Besar’ Kementerian Kelautan yang belum optimal dijalankan,” pungkasnya. - Advertisement - YOGYAKARTA - Potensi laut Indonesia belum dimanfaatkan secara maksimal, karena masih ada kesalahan pola berpikir masyarakat secara umum, kata Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Mohtar Mas'oed. "Kondisi itu menyebabkan kesejahteraan ekonomi yang bersumber dari potensi Indonesia sebagai negara maritim belum dirasakan," katanya pada seminar "Indonesia as World Maritime Axis Vision or Illusion", di Yogyakarta, Sabtu 28/3. Menurut dia, masih sedikit sekali para pengusaha yang melirik potensi kelautan dan belum banyak masyarakat melihat sumber pendapatan ekonomi dari laut. Saat ini masyarakat selalu terpaku pada ibu kota atau kota-kota besar lain untuk mencari pekerjaan sebagai sumber pendapatan ekonomi. "Padahal, nenek moyang kita adalah seorang pelaut, yang menguasai sumber lautan, memusatkan politik perekonomian kita di lautan, tetapi itu dulu, sekarang sudah tidak lagi. Saat ini kita masih ketinggalan dalam memanfaatkan kekayaan laut kita, kekuatan pengelolaan laut kita masih lemah," katanya. Ia mengatakan Presiden Joko Widodo Jokowi dalam visi dan misinya mempunyai program pembenahan pengelolaan laut Indonesia dan pengembangan industri perikanan dengan membangun kekuatan maritim, yang digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Selain itu Jokowi dalam beberapa kali kunjungan kenegaraannya juga terus terang memamparkan potensi laut Indonesia yang berlimpah ruah dan mengajak negara yang dikunjunginya untuk bekerja sama menanamkan investasi di Indonesia. Menurut dia, pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla mempunyai program untuk mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Hal itu telah diperlihatkan dari berbagai aksinya akhir-akhir ini melalui Menteri Kelautan dan Perikanan. "Salah satu contoh aksi tersebut adalah dengan menenggelamkan kapal-kapal asing yang melakukan penangkapan ikan ilegal di wilayah laut Indonesia. Hal itu sebagai upaya menjaga kedaulatan negara dan memaksimalkan potensi kekayaan laut Indonesia sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat," katanya. sumber antaraBACA JUGA Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Klik di Sini Pergantian tahun dari 2021 ke 2022 dijadikan momentum oleh Pemerintah Pusat untuk mengembangkan sektor kelautan dan perikanan KP oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan lebih baik lagi. Untuk itu, strategi dan perencanaan juga terus diperbarui untuk mewujudkan sektor KP bisa berlari kencang Salah satu tujuan utama yang dijalankan adalah mengembangkan ekonomi kelautan berkelanjutan EKB atau sustainable ocean economy yang diharapkan bisa mendorong percepatan produksi perikanan dan kelautan, serta kesejahteraan masyarakat pesisir, termasuk nelayan Tetapi, ditengah optimisme bisa mewujudkan EKB atau ekonomi biru, Indonesia menghadapi tantangan berat terkait kesehatan laut. Tanpa laut yang sehat, semua strategi dan perencanaan tidak akan bisa berjalan dengan baik dan sukses Tak hanya itu, tantangan lain juga ada, karena sampai sekarang tidak ada data yang akurat tentang kekayaan laut ocean wealth, kesehatan laut ocean health, dan distribusi manfaat sumber daya kelautan secara berkeadilan ocean equity. Ekonomi kelautan berkelanjutan EKB atau sustainable ocean economy tak hanya menjadi sekedar jargon bagi Indonesia untuk saat ini. Lebih dari itu, dengan semangat baru yang melambung tinggi di awal 2022, EKB dijadikan sebuah misi yang harus bisa berwujud dalam kehidupan sektor kelautan dan perikanan KP. Melalui perencanaan dan strategi yang tepat di bawah kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan KKP, EKB juga diharapkan bisa menggerakkan roda perekonomian di seluruh Nusantara. Dengan demikian, itu bisa mendorong percepatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Sayangnya, untuk bisa mewujudkan EKB yang diharapkan, perlu strategi dan perencanaan yang tepat. Hal ini, karena tata kelola sektor KP di Indonesia dinilai masih belum maksimal sampai sekarang. Bahkan, kesehatan laut di Indonesia juga masih di bawah rerata global. Berdasarkan data Ocean Health Index, Indonesia masih menempati urutan nomor 135 dunia dari total 221 negara yang dinilai, dengan skor indeks hanya 65 dari minimal skor standar dunia 71. Penilaian tersebut keluar, karena Indonesia menghadapi persoalan di laut yang mengancam kesehatan ekosistem. Misalnya dampak dari perubahan iklim, eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan, perusakan habitat biota laut, dan pencemaran/polusi plastik di laut. baca Kelautan Berkelanjutan Jadi Program Pemulihan Ekonomi Dunia Nelayan Cilacap tengah mencari ikan di sekitar kawasan perairan selatan CIlacap, Jateng. Foto L Darmawan/Mongabay Indonesia Di sisi lain, untuk bisa mewujudkan EKB yang diharapkan dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat di pesisir, kesehatan laut harus bisa dijaga dengan baik. Jika tidak, maka semua strategi dan perencanaan yang dilakukan tidak akan berjalan baik. Fakta tersebut menjadi ironi, karena Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia dengan luas total perairan mencapai kilometer persegi km2, panjang garis pantai km, dan jumlah pulau yang mencapai Padahal, pada 2021 Bank Dunia sudah melakukan penghitungan aset utama pariwisata Indonesia di wilayah laut yang mencapai angka fantastis sebesar USD1 miliar. Kemudian, Indonesia juga menjadi negara kedua di dunia yang memiliki produk domestik bruto PDB perikanan sebesar USD27 miliar dan bisa menyediakan lapangan pekerjaan untuk tujuh juta orang. Semua analisa tersebut dirilis secara resmi oleh Indonesia Ocean Justice Initiative IOJI pada akhir pekan lalu di Jakarta. Menurut IOJI, pada 2015 Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi OECD sudah merilis riset bahwa Indonesia bisa mendapatkan kontribusi dari sejumlah industri berbasis laut dengan nilai mencapai USD31,7 miliar terhadap nilai global. “Namun, belum ada estimasi nilai kekayaan laut Indonesia yang diterima secara formal. Perlu ada data aktual tentang kekayaan laut Indonesia untuk menghasilkan rencana pengelolaan laut terbaik,” demikian pernyataan resmi IOJI. Di luar persoalan yang disebutkan di atas, EKB diakui menjadi paradigma yang baru dalam pemanfaatan sumber daya kelautan untuk pembangunan ekonomi yang memperhatikan aspek keberlanjutan. Cara berpikir tersebut menjadi solusi untuk mewujudkan keseimbangan antara perlindungan ekosistem laut, pembangunan ekonomi kelautan, dan kesejahteraan masyarakat, terutama di pesisir dan nelayan kecil. Namun, menurut CEO IOJI Mas Achmad Santosa, upaya untuk mewujudkan EKB juga harus menghadapi tantangan yang berat dan harus dilalui dengan baik. Tantangan itu, di antaranya adalah ketiadaan data yang akurat tentang kekayaan laut ocean wealth, kesehatan laut ocean health, dan distribusi manfaat sumber daya kelautan secara berkeadilan ocean equity. “Juga pembiayaan transformasi pembangunan kelautan ocean finance dan literasi kelautan ocean knowledge,” jelas Otta, panggilan akrab Mas Achmad Santosa. baca juga Beratnya Mewujudkan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan Suasana bongkar muat di Pelabuhan Perikanan Tegal, Pantai Utara Jawa, salah satu tempat ikan jenis pari kekeh didaratkan. Foto Wahyu Mulyono Oleh karena itu, diperlukan data yang akurat untuk mengembangkan rencana pembangunan ekonomi nasional berkelanjutan yang menjadi implementasi dari Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2017 yang sudah terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang, Jangka Menengah, dan Jangka Pendek. Dengan pemetaan yang detail, diharapkan segala persoalan yang muncul sepanjang 2021 bisa diatasi dan dicarikan jalan keluar pada 2022. Salah satu langkah yang bisa dilakukan, adalah dengan menyusun Rencana Pembangunan Laut Berkelanjutan RPLB yang terintegrasi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional RPJPN dan RPJMN. Otta menyebutkan, dalam melaksanakan koordinasi tersebut, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi harus bisa bekerja sama dengan Badan Riset dan Inovasi Nasional BRIN, KKP, dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional BAPPENAS. Kolaborasi yang penuh komitmen antar lembaga di atas, diharapkan bisa melahirkan kebijakan-kebijakan yang bersifat operasional dan teknis. Dengan demikian, upaya untuk mewujudkan tiga kemenangan bagi masyarakat people, alam nature, dan ekonomi economy bisa terjadi. “Artinya, dalam setiap pengambilan keputusan kebijakan publik terkait dengan kelautan perlu dipertimbangkan ketiga kepentingan tersebut secara sama dan seimbang,” terang dia. Sementara itu, terkait persoalan keamanan maritim yang sudah menjadi isu kedaulatan sebuah negara, juga dihadapi Indonesia sampai saat ini. Persoalan tersebut muncul bersamaan dengan isu hak berdaulat kapal ikan asing KIA. Selain itu, persoalan sampah plastik yang muncul di laut akibat aktivitas dari atas kapal perikanan, juga masih menjadi masalah yang terus disorot. Hal tersebut, menjadi alasan kenapa pengamanan di laut harus dikelola secara bersama dan berkelanjutan. perlu dibaca Fondasi Kuat untuk Ekonomi Kelautan Berkelanjutan Sampah di sepanjang pantai Muncar, Banyuwangi, Jatim, pada akhir Juni 2019. Selain di pesisir, sampah juga ada di perairan laut Muncar yang mempengaruhi nelayan mendapatkan ikan. Foto Anton Wisuda/Mongabay Indonesia Ancaman Kedaulatan Otta menyebutkan kalau ancaman yang menjadi perhatian utama terhadap hak berdaulat di Zona Ekonomi Eksklusif ZEE Indonesia sepanjang 2021 adalah hak eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam SDA hayati dan non hayati, serta penelitian ilmiah kelautan. Adapun, sejumlah ancaman itu adalah mencakup aktivitas penangkapan ikan secara ilegal oleh KIA Vietnam di Laut Natuna Utara di wilayah non sengketa masuk hingga 30 mil laut dari pulau terluar, dan ancaman terhadap hak berdaulat oleh kapal-kapal Cina. Ancaman lain, adalah kapal ikan, kapal penjaga laut Cina, kapal riset/survei geologi, dan juga kapal militer. Termasuk, upaya protes yang dilakukan Cina kepada Indonesia untuk menghentikan kegiatan eksplorasi SDA di ZEE. Menurut Otta, ancaman terhadap SDA minyak dan gas, serta penelitian ilmiah kelautan di ZEE Indonesia Laut Natuna Utara juga kini dihadapi Indonesia. Ancaman itu sebagai langkah politik Cina di kawasan tersebut untuk menegaskan klaim wilayah tidak berdasar hukum internasional yaitu UNCLOS 1982. “Ancaman sampah plastik yang dibuang di laut dari aktivitas berbagai jenis kapal. Selama ini belum ada kajian dan evaluasi secara mendalam dan menyeluruh di tingkat nasional,” sebut dia. Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Bidang Manajemen Sumber daya Perairan Universitas Halu Oleo Kendari Profesor La Sara, mengatakan, persoalan ancaman kedaulatan negara tidak boleh dianggap remeh. Pasalnya, ancaman masuknya KIA Vietnam dan Cina akan berpotensi kembali terjadi pada 2022 dan bahkan meningkat. Selain itu, yang harus juga diwaspadai adalah perompakan bersenjata yang diantaranya menyamar menjadi nelayan tradisional di Papua, terorisme, dan penyelundupan barang serta obat-obatan ilegal seperti yang terjadi di pulau Lingayan, Sulawesi Tengah. Ancaman yang juga masih akan terus mengintai, adalah alur laut kepulauan Indonesia ALKI yang digunakan oleh kapal-kapal perikanan dan non perikanan. Potensi tersebut muncul, karena keterbatasan sarana dan prasarana pengawasan dan juga cakupan wilayah yang luas. baca juga Misi Indonesia Terapkan Ekonomi Kelautan yang Berkelanjutan Sekelompok nelayan di pantai Jimbaran, Bali. Foto shutterstock Agar semua ancaman di atas bisa diatasi dan bahkan dicegah, dia mengimbau kepada Pemerintah untuk memperkuat koordinasi patroli dan melaksanakan penegakan hukum yang efektif. Kemudian, perlu juga dilakukan peningkatan upaya untuk menangani sampah plastik di laut melalui kebijakan yang tepat dan terarah. “Termasuk port reception facilities dan pendaftaran, serta pelaporan alat tangkap ikan,” tegas La Sara yang juga Ketua Forum Pimpinan Perguruan Tinggi Perikanan dan Kelautan Indonesia itu. Di luar itu, La Sara juga mengingatkan agar Pemerintah Indonesia juga menangani persoalan pemanfataan pulau-pulau kecil, terutama pulau kecil dan terluar; penanganan pencemaran perairan; dan penyelesaian sengketa kapal kandas yang merusak terumbu karang di berbagai daerah. Dia menambahkan, penyebab lemahnya pengawasan dan penindakan Pemerintah Indonesia dalam menyikapi ancaman dan pelanggaran di laut, adalah karena terlalu banyak diskusi yang dilakukan di dalam negeri. Setelah itu, baru kemudian disusun dokumen pendukungnya. “Namun, setelah itu juga masih mencari formasi pengawasan yang tepat, dan dihadapkan pada sarana prasarana terbatas, juga anggaran yang terbatas,” tutur dia. perlu dibaca Cara Indonesia Membangun Kekuatan Maritim di Wilayah Laut Petugas PSDKP KKP menjaga enam kapal ikan asing berbendera Vietnam yang ditangkap di Laut Natuna Utara pada Minggu 16/5/2021. Foto Ditjen PSDKP KKP Komitmen Indonesia Sebelumnya, Pemerintah Indonesia menegaskan komitmen untuk merealisasikan EKB. Hal itu ditegaskan melalui Kementerian Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi Kemenko Marves dalam pertemuan Sherpa Meeting ke-20, High Level Panel for a Sustainable Ocean Economy HLP SOE, pada Rabu 07/07/2021 secara virtual. “Indonesia memiliki komitmen yang konsisten untuk memastikan bahwa 5 pilar Kekayaan Laut, Kesehatan, Equity, Pengetahuan, dan Keuangan di bawah SOE dilaksanakan oleh seluruh pemangku kepentingan dan hasilnya dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia,” jelas Plt. Asisten Deputi Asdep Keamanan dan Ketahanan Maritim Kemenko Marves Helyus Komar dalam pertemuan tersebut. Komitmen tersebut tercantum dalam visi HLP SOE tentang pengelolaan wilayah laut di bawah yurisdiksi masing-masing negara secara berkelanjutan dan berpedoman pada Sustainable Ocean Plans pada tahun 2025. “Kita harus atasi ketimpangan melalui peningkatan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, serta disparitas antarwilayah dapat dikurangi dengan memperkuat konektivitas dan sektor maritim,” tegas Komar dalam rilis Kemenko Marves. Ia menjelaskan bahwa lautan berperan penting dalam mengurangi dampak bencana alam, terumbu karang dan bakau serta meminimalisasi dampak banjir dan tsunami bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang wilayah pesisir. Nilai perlindungan tersebut bernilai hampir US$ 639 juta per tahun sumber Reformasi untuk Ekonomi Biru di Indonesia- Bank Dunia 2021. “Strategi ekonomi biru yang terintegrasi dan lintas sektoral menjadi kunci meningkatkan program pembangunan maritim, pemerataan kesempatan untuk pemberdayaan sumber daya kelautan, dan peningkatan kualitas penghidupan,” tambahnya. Artikel yang diterbitkan oleh biota laut, ekologi pesisir, ekonomi biru, ekonomi kelautan berkelanjutan, featured, kedaulatan maritim, kekayaan laut, kelestarian biota laut, kesehatan laut, kesejahteraan nelayan, komitmen jokowi, perikanan budidaya, Perikanan Kelautan, perikanan tangkap Darilaut – Hasil riset potensi berbasis kekayaan laut Indonesia oleh industri lokal masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Hal ini terbukti masih minim industri lokal yang memanfaatkan sumber daya saat ini baru berperan sebagai pemasok bahan baku dalam industri-industri berbasis sumber daya laut di negara-negara maju. Seperti di Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan baku industri yang dimakasud antara lain rumput laut, teripang, kuda laut, dan beberapa biota komersial Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Hayati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI, Yan Riyanto, mengatakan sinergi lembaga riset dengan industri, baik industri besar, kecil, dan menengah belum yang menurutnya menjadi salah satu penyebab hasil riset dalam negeri kurang dimanfaatkan.“Oleh karena itu, ke depan LIPI akan terus memperbaiki ekosistem riset dan inovasi, mengundang industri melakukan riset di kawasan sains dan teknologi, membuka akses ke berbagai lab dan instrumen di LIPI, agar terbangun sinergi dengan dunia industry,“ ungkap Yan. Untuk itu, bioprospeksi laut mendorong berkembangnya industri berbasis inovasi produk hasil laut. Bioprospeksi meliputi kegiatan eksplorasi, pengungkapan potensi, dan pemanfaatan sumber daya laut yang mendapatkan sumber-sumber senyawa baru seperti senyawa kimia, gen, organisme, dan produk alami senyawa dan produk turunannya, memiliki nilai ilmiah dan berpotensi dikomersialisasikan. Antara lain menjadi produk pangan dan obat kesehatan tanpa mengesampingkan pelestarian keanekaragaman upaya harmonisasi dan sinergitas litbangjirap iptek dengan industri, Pusat Unggulan IPTEK PUI Bioprospeksi Laut LIPI mengadakan webinar nasional secara virtual dengan tema “Pengembangan Produk Pangan dan Kesehatan Berbasis Kelautan” Kamis 3/6.Kepala Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, Puspita Lisdiyanti mengatakan hasil riset terkait pengembangan produk pangan dan kesehatan berbasis kelautan telah dirancang sesuai yang dibutuhkan oleh industri dan UMKM. Komunikasi dan kolaborasi diharapkan terus berlangsung, sehingga terjadi ekosistem yang sinergi dan saling Koordinator PUI Bioprospeksi Laut, Linda Sukmarini, dengan adanya sinergi antara litbang dengan masyarakat pengguna dalam hal ini industri dan UMKM, diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor produk dimanfaatkannya teknologi hasil penelitian dari bangsa sendiri, khususnya untuk produk-produk berbasis kelautan hasil bioprospeksi, menjadi target lanjutan dari riset bioprospeksi Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian-LIPI Ocky Karna Radjasa mengatakan banyak potensi yang disebut dengan untapped marine biodiversity belum optimal yang dikaitkan dengan keunikan habitat laut seperti suhu tinggi dan rendah, tekanan tinggi, dan tingkat keasaman yang tinggi baik pada daerah pesisir hingga lingkungan laut dalam yang ekstrim.

pengelolaan kekayaan laut belum maksimal karena